Rabu, 04 September 2013

Mengalir bagai air


Itu yang saya alami
Sejauh perjalanan hidup saya sampai saat ini sungguh sangat saya syukuri. Berbagai pencapaian yang dengan RidhoNya sudah dalam genggaman.  Sesampainya disini, di titik ini, ada hal penting yang saya sadari.
Bahwa selama ini hidup saya mengalir begitu saja bagai air. Sejak kecil saya tidak pernah bercita cita. Saya  selalu berharap Tuhan akan selalu memilihkan jalan yang baik untuk saya.
Saya dibesarkan di lingkungan yang biasa. Dari keluarga yang seadanya. (Maaf Pak, Mbok) Orang tua dengan pengalaman yang biasa dengan cinta kasih yang luar biasa. Pada prinsipnya orang tua saya berniat memberikan pendidikan sampai kuliah, selain itu tidak ada campur tangan. Alias dibebaskan. Waktu kecil saya tidak pernah bercita-cita. Sekolah SD berlalu begitu saja, dengan prestasi yang baik. Setelah lulus mau SMP mana? tidak terfikir dan tidak ada arahan. Akhirnya dengan pertimbangan sendiri saya pilih SMP paling dekat rumah. SMP berlalu begitu saja, dengan prestasi yang baik. Setelah lulus mau ke SMU apa SMK? tidak terfikir dan tidak ada arahan. Akhirnya saya pilih SMU sesuai nilai saja. SMU berlalu begitu saja. Mau pilih jurusan IPA atau IPS? Mau kuliah atau mau kerja? Tidak terfikir dan tidak ada arahan. Menselaraskan dengan niatan orang tua untuk menguliahkan, maka saya berniat daftar kuliah. Pengen kuliah dimana dan jurusan apa? Tidak terfikir. Akhirnya dengan melihat prediksi, saya daftar di UGM tapi jurusan yang baru buka dengan pertimbangan sendiri bahwa Jurusan baru kemungkinan diterima lebih besar. Setahun kuliah, saya nyambi kerja di wartel dan Swalayan. Untuk tambahan uang bensin. Kulian berjalan biasa, tidak ada yang istimewa. Kurang suka dengan jurusannya, saya coba pindah jurusan. Rencana mau pindah jurusan yang (katanya) lebih bonafit yang lulusannya bisa kerja di tempat yang enak. Saya ikut test dan gagal diterima. Akhirnya saya tetap di jurusan yang sama, kuliah biasa sambil kerja.Pas waktunya yang lain skripsi, saya juga skripsi. Cuma kebetulan terjadi Gempa di Jogja. Saya langsung gak konsentrasi kuliah. Kejadian ini saya jadikan pembenaran untuk lebih tidak konsentrasi kuliah. Saya kemudian ikut jadi relawan kemanusiaan. Mulai dari penanganan orang berkebutuhan khusus akibat gempa sampai rekonstruksi rumah pasca gempa. Vakum tidak ada proyek, saya bikin usaha angkringan kecil di dekat rumah. 3 bulan jalan saya tinggalkan, pindah kerja di LSM. Terakhir balik lagi jadi relawan pendaftaran tanah lokasi gempa. Mengalir begitu saja. Kemudian saya bertemu dengan calon istri saya. Saya berencana menikah. Dengan sedikit pertimbangan keluarga, saya memberanikan diri menikah. Karena ada rasa malu sama mertua karena belum lulus kuliah saya berencana selesaikan kuliah.  Saya selesaikan kuliah sambil kerja jadi Relawan pendaftaran tanah, kerjasama BPN dan Kelurahan setempat. Selesai kegiatan ini pas saya lulus kuliah. Kebetulan sama  Ketua Tim dari BPN disarankan daftar PNS BPN kaena jurusan saya sesuai, katanya. Dan akhrinya sekarang saya di BPN Prov. Maluku Utara. Dengan RIdho Alloh dan Doa kedua orang tua saya, saya sekarang ada di sini.
Apa hikmahnya?
Astaghfirulloh, dengan tanpa bermaksud tidak mensyukuri segala pencapaian ini, bahwa ketika hidup itu dibiarkan mengalir begitu saja, segala pencapaian tidak akan memuaskan saya. Secara batiniah tentunya. Sayapun tidak berhak menyalahkan orang tua saya sehingga kehidupan mengalir begitu saja, bisa jadi salah saya yang tidak pernah minta pertimbangan mereka. Dan dengan segala kekurangan mereka, tetap orang tua yang berjasa paling besar pada kita. Saya tidak pernah punya impian. Saya tidak pernah bertanya pada hati saya, saya pengen hidup yang seperti apa. Sehingga ketika tersadar sekarang saya ditempatkan di tempat yang jauh. Jauh dari orang tua, jauh dari anak, jauh dari istri. Seperti dua sisi mata uang. Disatu sisi saya mencoba meyakinkan diri saya bahwa perantauan ini adalah pengorbanan yang harus saya lakukan demi nafkah keluarga. Teman seperjuangan yang lain bilang ini jihad. Dan saya mencoba menghadirkan kebahagiaan atas segala pengorbanan itu. Di sisi lainnya saya masih mepertanyakan apakah betul kehidupan seperti ini yang saya idamkan. Ketika saya membayangkan kehidupan yang lain dimana saya bisa berkumpul dengan keluarga. Bebas meluangkan waktu sepuasnya untuk Tuhan dan keluarga. Bisa memberi banyak manfaat untuk banyak orang. Kebahagiaan itu muncul tanpa harus dihadirkan. Dan apakah ada kebahagiaan yang sejati bisa hadir dengan mengorbankan kebahagiaan yang lain?
Maaf, saya sendiri saat ini belum bisa jawab apa-apa?
Hati kecil saya menyimpulkan. Bahwa hidup ini harus direncanakan. Itu adalah implementasi dari impian. Impikan hidup bahagia yang kita dambakan. Bayangkan, refleksikan, afirmasikan, rencanakan. dan lakukan. meskipun diawali dari yang kecil. Hidup boleh saja mengalir bagai air. Tapi layaknya air dalam instalasi rumah, yang sudah direncanakan mau ke mana. Mau ke bak mandi atau keran wudhu, itu sudah diperkirakan. Harusnya bukan seperti air hujan, yang bisa jadi hanya akan mangalir bertemu dengan air comberan.
Beruntung saya "dipertemukan" dengan orang-orang hebat lewat buku-bukunya, webnya, maupun kata-katanya di media sosial.  Belakangan orang-orang hebat seperti @ipphoright @saptuari @jamilazzaini @muadzin @endykurniawan @muhammadassad @yusuf_mansur dll seperti sedang berdiri dibelakangku, membisiki hati ini, menawarkan kebahagiaan kehidupan yang sesungguhnya. Sayapun sekarang berani bercita-cita. Sudah terbayang kemana aliran air hidupku akan bermuara. Saya sudah melangkah. Langkah kecil yang terencana untuk sampai pada muara itu. Dan apakah saya akan sampai pada muara itu?. Karena ternyata begitu banyak orang yang baik sengaja atau tidak telah mengubur impiannya sendiri sebelum sampai kemuaranya masing-masing. Dengan Ridho Alloh saya YAKIN, saya akan sampai. 
Ternate, 4 September 2013
@yudhiburhan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar