Jumat, 27 September 2013

Ibu....

Tayangan adzan di TV adalah hal yang biasa kita lihat. Tapi ada salah satu tayangannya yang selalu bisa membuat saya meneteskan air mata ketika melihatnya, atau setidaknya membuat dada ini sesak merasakannya.
Tayangan adzan yang ingin saya ceritakan ini sejauh yang saya tahu hanya tayang waktu shubuh, isinya menceritakan ada seorang laki-laki setengah baya sedang pulang dari kantor mengendarai mobil. Dilihat dari penampilannya, rapi khas para esmud. Dalam perjalanan pulangnya, di lampu merah dia bertemu anak kecil pengamen mendekati mobilnya. Setelah anak kecil menyelesaikan tugasnya, laki-laki itu memberikan uang kepadanya. Entah apa dicari, secara refleks laki-laki ini mengamati kemana perginya anak kecil itu. Ternyata anak kecil itu sudah menyeberang jalan memasuki sebuah toko bunga di pinggir jalan. Diikutinya terus kemana perginya anak kecil itu. Setelah keluar dari toko bunga, dengan membawa seikat bunga, anak kecil itu berjalan melintas jalan dan masuk ke sebuah gang. Laki-laki ini pun mengikuti, sampai berjalan kaki sambil mengawasi apa yang dilakukan anak kecil tadi. Anak kecil itu kemudian memasuki makam, mendekati salah satu gundukan tanah pemakaman di situ. Duduk dan berdoa sejenak. Kemudian meletakkan seikat bunga yang baru saja dibelinya, serta kertas yang sedari tadi digulung di tangan kirinya. Kemudian dia pergi. Laki-laki itu kemudian mendekati makam tersebut, lalu memperhatikan bunga sederhana yang ditaruh anak kecil tadi, dan membaca kertas yang juga ditinggalkannya disitu bertuliskan "Selamat Ulang Tahun Ibu". Di detik ini saya selalu terharu. Detik ketika laki-laki itu tersadar, bahwa pada saat ini  dia (baca:kita) masih punya ibu, dan mungkin sering kita melupakannya karena kesibukan atau karena keluarga baru kita. Sedangkan anak kecil pengamen saja yang ibunya sudah meninggal, masih ingat terus dan bahkan hari ulang tahun ibunya, mencarikan hadiah sederhana dan mengantarkan ke makamnya. Kemudian laki-laki itu menyadari bahwa mungkin saat ini ibunya butuh dia, kangen sama dia. Kemudian di telponlah ibunya dari dalam mobil, tapi tidak diangkat. Pikirannya tambah kacau, penyesalannya tambah besar, ibunya sendirian di rumah sementara dia mengejar kehidupannya sendiri. Berjuta perasaan berkecamuk. Tayangan lainnya memperlihatkan ibunya sedang di rumah, pucat dan tua, sedang membersihkan pesawat mainan milik anaknya waktu kecil. Duduk diantara banyak mainan lain yang juga antri akan dibersihkan, dan sesekali dikagetkan bayangan anaknya sewaktu kecil berlarian dan bermain memenuhi seisi ruangan. Tampak raut kerinduan akan anak-anaknya. Kemudian muka pucat itu muncul lagi seketika tersadar itu hanya bayangan saja. Sejurus kemudian laki-laki tadi pulang ke rumah. Karena kekhawatiran dan penyesalan melupakan ibunya yang sudah tidak tertahan. Laki-laki itu masuk rumah sambil berteriak memanggil ibunya. Sang ibu kaget bercampur bahagia. Sang anak bersujud meminta maaf dan menumpahkan segala penyesalan di pangkuan ibunya.
Masya Alloh. Bagi saya tayangan ini mengena di hati saya, meninggalkan berjuta hikmat yang tidak tersampaikan. Semoga ada hikmah masing-masing ketika rekan-rekan yang lain melihat tayangan ini juga.

Jumat, 06 September 2013

Orang selalu punya ...


Saya tertarik saja untuk bahas ini. Pikiran ini muncul pas kemarin saya lihat di Display Picture BBM teman saya.
Ada 4 gambar yang dibuat dalam 1 frame, yang diantara keempatnya ada keterkaitan. Obyek yang ada di gambar tersebut adalah seorang kakek dan nenek bersama keledai kurus yang juga kepunyaan mereka, dan dalam jarak tertentu ada tergambar ada satu orang lagi yang melihat kakek, nenek dan keledai mereka.
Gambar 1 menceritakan bahwa sepasang kakek-nenek ini  berjalan beriringan di belakang keledai mereka yang berjalan duluan, kemudian seorang yang melihat kejadian itu berkomentar "Dasar, kakek-nenek goblok, punya keledai kok tidak dinaikin".
Gambar 2 menceritakan bahwa kakek itu menunggangi keledai dan neneknya berjalan dibelakangnya, dan orang lain berkomentar "Dasar suami tidak bertanggung jawab, masa istrinya disuruh jalan sementara dia enak-enakan naik keledai".
Gambar 3 melukiskan bahwa gantian sang nenek yang naik keledai, sementara kakeknya berjalan dibelakangnya. Dan orang yang melihat kejadian itu tetap berkomentar " Sekarang semakin banyak suami yang takut sama isterinya. Tapi dasarnya juga perempuan tidak ada hormat sama sekali sama suami, masa dia naik keledai sementara suaminya suruh jalan".
Dan gambar 4 menceritakan kalau sepasang orang tua ini naik dua-duanya diatas keledai. Apa kata orang yang melihatnya, "Dasar manusia tidak punya kasihan sama bianatang, sudah tahu keledainya kurus dan tua, masih saja dinaikin berdua".

Marilah kita lihat dari dekat kejadian sesungguhnya.
Gambar 1. Kakek-nenek ini sengaja berjalan bersama di jalan itu selain untuk berolah raga, karena jalan ini adalah jalan kenangan mereka waktu muda dulu dan mereka sangat ingin bernostalgia berjalan berdua di jalan ini.
Gambar 2. Sang kakek sedang sakit, jadi dia naik keledai sementara istrinya jalan dibelakangnya, karena istrinya sembari menjaga jangan sampai kotoran keledainya jatuh di jalanan"
Gambar 3. Sang kakek pernah bernazar. Kalau anak laki-lakinya yang sudah 15 merantau jadi pulang dia akan berjalan kaki mengelilingi kampung 10 kali putaran dengan berjalan kaki. Dan hari itu anaknya laki-laki tercintanya benar-benar pulang sehingga nazar itu dilaksanakan. Sang kakek berjalan kaki  sementara neneknya menunggangi keledai membawakan minuman kalo suaminya haus, karena dia tidak sanggup kalau ikut berjalan 10 kali keliling kampung.
Gambar 4.Keledai mereka ini dari Sumbawa, jadi perawakannya memang kurus tapi keledai kakek-nenek ini sangat kuat. Mereka sudah merawatnya dari kecil, Jadi mereka tahu persis kondisi hewan peliharaannya. Keledai diberi makanan dan minuman yang sangat bernutrisi sehingga kalu cuma mengangkat tubuh mereka berdua, keledai ini masih sangat kuat.

Mari kita umpamakan kita salah satu diantara kakek dan nenek ini, dan orang yang komentar itu adalah gambaran sebagian besar orang disekitar kita. Jadi orang disekitar kita selalu punya sudut pandang yang lain untuk melihat segala sesuatu kejadian, demikian juga dengan kita. Cuma bedanya orang yang positif akan selalu punya sudut pandang positif terhadap suatu hal yang dilihatnya, atau setidaknya tidak akan berkomentar kalau belum tahu betul duduk perkaranya. Sementara orang yang berpikiran negatif juga selalu punya sudut pandang untuk berkomentar negatif. Kasarnya orang tipe ini akan tertawa kalau kita jatuh dan dengki kalau kita sukses. Sehingga apa yang diungkapkannya akan selalu beraroma negatif.

Jadi?
Bertidaklah pada suatu hal yang kita yakini benar dan sesuai visi yang ingin kita capai, dan selalu libatkan Alloh di setiap urusan. Jangan bertindak hanya mengharapkan komentar positif dari orang. Kalau kita mengharapkan komentar positif tidak akan kita dapatkan dari semua orang. Orang positif akan berkomentar positif, sementara orang negatif akan selalu berkomentar negatif. Kalau ada komentar dari siapaun, kita filter mana komentar yang membangun mana yang tidak.
Nanti sesampainya di kesuksesan kita harus berterimakasih pada mereka karena merekalah cermin yang bisa mendewasakan kita. Sementara mereka masih tetap berdiri disana, masih dengan pikiran positif dan negatif mereka.
Ternate, 6 September 2013
@yudhiburhan


Rabu, 04 September 2013

Mengalir bagai air


Itu yang saya alami
Sejauh perjalanan hidup saya sampai saat ini sungguh sangat saya syukuri. Berbagai pencapaian yang dengan RidhoNya sudah dalam genggaman.  Sesampainya disini, di titik ini, ada hal penting yang saya sadari.
Bahwa selama ini hidup saya mengalir begitu saja bagai air. Sejak kecil saya tidak pernah bercita cita. Saya  selalu berharap Tuhan akan selalu memilihkan jalan yang baik untuk saya.
Saya dibesarkan di lingkungan yang biasa. Dari keluarga yang seadanya. (Maaf Pak, Mbok) Orang tua dengan pengalaman yang biasa dengan cinta kasih yang luar biasa. Pada prinsipnya orang tua saya berniat memberikan pendidikan sampai kuliah, selain itu tidak ada campur tangan. Alias dibebaskan. Waktu kecil saya tidak pernah bercita-cita. Sekolah SD berlalu begitu saja, dengan prestasi yang baik. Setelah lulus mau SMP mana? tidak terfikir dan tidak ada arahan. Akhirnya dengan pertimbangan sendiri saya pilih SMP paling dekat rumah. SMP berlalu begitu saja, dengan prestasi yang baik. Setelah lulus mau ke SMU apa SMK? tidak terfikir dan tidak ada arahan. Akhirnya saya pilih SMU sesuai nilai saja. SMU berlalu begitu saja. Mau pilih jurusan IPA atau IPS? Mau kuliah atau mau kerja? Tidak terfikir dan tidak ada arahan. Menselaraskan dengan niatan orang tua untuk menguliahkan, maka saya berniat daftar kuliah. Pengen kuliah dimana dan jurusan apa? Tidak terfikir. Akhirnya dengan melihat prediksi, saya daftar di UGM tapi jurusan yang baru buka dengan pertimbangan sendiri bahwa Jurusan baru kemungkinan diterima lebih besar. Setahun kuliah, saya nyambi kerja di wartel dan Swalayan. Untuk tambahan uang bensin. Kulian berjalan biasa, tidak ada yang istimewa. Kurang suka dengan jurusannya, saya coba pindah jurusan. Rencana mau pindah jurusan yang (katanya) lebih bonafit yang lulusannya bisa kerja di tempat yang enak. Saya ikut test dan gagal diterima. Akhirnya saya tetap di jurusan yang sama, kuliah biasa sambil kerja.Pas waktunya yang lain skripsi, saya juga skripsi. Cuma kebetulan terjadi Gempa di Jogja. Saya langsung gak konsentrasi kuliah. Kejadian ini saya jadikan pembenaran untuk lebih tidak konsentrasi kuliah. Saya kemudian ikut jadi relawan kemanusiaan. Mulai dari penanganan orang berkebutuhan khusus akibat gempa sampai rekonstruksi rumah pasca gempa. Vakum tidak ada proyek, saya bikin usaha angkringan kecil di dekat rumah. 3 bulan jalan saya tinggalkan, pindah kerja di LSM. Terakhir balik lagi jadi relawan pendaftaran tanah lokasi gempa. Mengalir begitu saja. Kemudian saya bertemu dengan calon istri saya. Saya berencana menikah. Dengan sedikit pertimbangan keluarga, saya memberanikan diri menikah. Karena ada rasa malu sama mertua karena belum lulus kuliah saya berencana selesaikan kuliah.  Saya selesaikan kuliah sambil kerja jadi Relawan pendaftaran tanah, kerjasama BPN dan Kelurahan setempat. Selesai kegiatan ini pas saya lulus kuliah. Kebetulan sama  Ketua Tim dari BPN disarankan daftar PNS BPN kaena jurusan saya sesuai, katanya. Dan akhrinya sekarang saya di BPN Prov. Maluku Utara. Dengan RIdho Alloh dan Doa kedua orang tua saya, saya sekarang ada di sini.
Apa hikmahnya?
Astaghfirulloh, dengan tanpa bermaksud tidak mensyukuri segala pencapaian ini, bahwa ketika hidup itu dibiarkan mengalir begitu saja, segala pencapaian tidak akan memuaskan saya. Secara batiniah tentunya. Sayapun tidak berhak menyalahkan orang tua saya sehingga kehidupan mengalir begitu saja, bisa jadi salah saya yang tidak pernah minta pertimbangan mereka. Dan dengan segala kekurangan mereka, tetap orang tua yang berjasa paling besar pada kita. Saya tidak pernah punya impian. Saya tidak pernah bertanya pada hati saya, saya pengen hidup yang seperti apa. Sehingga ketika tersadar sekarang saya ditempatkan di tempat yang jauh. Jauh dari orang tua, jauh dari anak, jauh dari istri. Seperti dua sisi mata uang. Disatu sisi saya mencoba meyakinkan diri saya bahwa perantauan ini adalah pengorbanan yang harus saya lakukan demi nafkah keluarga. Teman seperjuangan yang lain bilang ini jihad. Dan saya mencoba menghadirkan kebahagiaan atas segala pengorbanan itu. Di sisi lainnya saya masih mepertanyakan apakah betul kehidupan seperti ini yang saya idamkan. Ketika saya membayangkan kehidupan yang lain dimana saya bisa berkumpul dengan keluarga. Bebas meluangkan waktu sepuasnya untuk Tuhan dan keluarga. Bisa memberi banyak manfaat untuk banyak orang. Kebahagiaan itu muncul tanpa harus dihadirkan. Dan apakah ada kebahagiaan yang sejati bisa hadir dengan mengorbankan kebahagiaan yang lain?
Maaf, saya sendiri saat ini belum bisa jawab apa-apa?
Hati kecil saya menyimpulkan. Bahwa hidup ini harus direncanakan. Itu adalah implementasi dari impian. Impikan hidup bahagia yang kita dambakan. Bayangkan, refleksikan, afirmasikan, rencanakan. dan lakukan. meskipun diawali dari yang kecil. Hidup boleh saja mengalir bagai air. Tapi layaknya air dalam instalasi rumah, yang sudah direncanakan mau ke mana. Mau ke bak mandi atau keran wudhu, itu sudah diperkirakan. Harusnya bukan seperti air hujan, yang bisa jadi hanya akan mangalir bertemu dengan air comberan.
Beruntung saya "dipertemukan" dengan orang-orang hebat lewat buku-bukunya, webnya, maupun kata-katanya di media sosial.  Belakangan orang-orang hebat seperti @ipphoright @saptuari @jamilazzaini @muadzin @endykurniawan @muhammadassad @yusuf_mansur dll seperti sedang berdiri dibelakangku, membisiki hati ini, menawarkan kebahagiaan kehidupan yang sesungguhnya. Sayapun sekarang berani bercita-cita. Sudah terbayang kemana aliran air hidupku akan bermuara. Saya sudah melangkah. Langkah kecil yang terencana untuk sampai pada muara itu. Dan apakah saya akan sampai pada muara itu?. Karena ternyata begitu banyak orang yang baik sengaja atau tidak telah mengubur impiannya sendiri sebelum sampai kemuaranya masing-masing. Dengan Ridho Alloh saya YAKIN, saya akan sampai. 
Ternate, 4 September 2013
@yudhiburhan